Merelakan

Belakangan, isi kepalaku dipenuhi dengan kenangan-kenangan masa lalu yang tiba-tiba datang secara bersamaan; kenangan indah, kenangan buruk, keputusan yang salah, dan semua penyesalan yang bercampur menjadi satu. Perasaan campur aduk ini sampai membuat dada terasa sesak, sehingga menghela nafas sudah menjadi seperti obat pereda nyeri yang harus diminum setiap hari.

Rasanya sulit sekali untuk sehari saja menikmati menjalani hidup ketika pikiran masih berada di masa lalu dengan kenangan yang masih terbelenggu. Kupikir setelah banyaknya waktu yang sudah kulalui, aku berhasil melupakan dan merelakan. Tapi semesta selalu mempunyai cara untuk menggagalkan, lalu membawa kembali perasaan yang hampir bisa kulupakan. Perasaan kepada masa lalu yang pernah menjadi bagian.

Merelakan
Merelakan

Jujur, aku merindukannya lagi. Sangat-sangat merindukannya.

Aku penasaran bagaimana kabarnya sekarang. Apakah hidupnya saat ini lebih bahagia daripada sebelumnya? Apakah sudah ada orang baru yang datang ke dalam hidupnya? Apakah pikiran tentangku pernah terlintas di benaknya? Apakah ada kenangan yang mengingatkannya tentang kami berdua?

Ingin sekali aku bertanya dan menyampaikan perasaan rindu ini langsung kepadanya, tapi sudah tidak bisa lagi. Karena mau bagaimanapun juga, kami sudah tidak memiliki hubungan lagi. Aku sudah bukan siapa-siapa lagi baginya. Aku hanya bagian yang pernah ada di masa lalunya.

Kurasa aku terlalu serakah. Jika aku juga menginginkan menjadi bagian dari masa kini dan masa depannya. Di saat yang bersamaan, aku juga belum sanggup membayangkan ada orang lain mengambil tempat yang dulu milikku dalam hidupnya.

Mereka bilang, kita harus siap dengan perpisahan dan juga harus siap tempat kita akan tergantikan. Tapi aku tidak pernah siap. Tidak untuknya. Walaupun pada akhirnya, merelakan adalah kenyataan yang setiap hari harus aku pilih secara sadar. Tentu saja ada air mata, juga rasa sakit yang pahit mengendap di dalam dada. Rasa sakit karena menerima, karena melepaskan, karena memahami bahwa hubungan tidak selalu bisa bertahan.

Aku mencintainya, tapi aku harus merelakannya pergi. Karena kebahagiaannya mungkin terletak di tempat lain, aku mendukung pilihannya, meskipun aku harus kehilangan masa depan yang pernah kami impikan bersama. Aku yakin ini adalah pilihan yang tepat. Memaksanya untuk tetap tinggal padahal seharusnya ada tempat lain yang bisa membuatnya lebih bahagia, itu bukanlah cinta, bukan?

Sepertinya aku telah mencintainya cukup dalam untuk merelakannya pergi.

Sekarang aku harus mulai belajar hidup untuk diriku sendiri, tanpa ada hadirnya, seperti sebelum pertama kali kami bertukar sapa. Aku harus melanjutkan jalanku sendiri berjuang demi kebaikan, tidak menyia-nyiakan cinta dan kasih sayang yang telah ia berikan padaku selama kebersamaan yang pernah kami lalui berdua.

Jika mengingat ulang, aku merasa bodoh karena pernah mengatakan hal yang sama kepadanya dulu. Sekarang aku mengerti perasaan sakit yang ia rasakan ketika kata-kata itu kembali kepadaku. Kalau ini adalah karma yang aku terima karena pernah menyakitinya dulu, maka biarlah begitu adanya. Aku akan sangat ikhlas menerima bila memang itu bisa membuat hidupnya lebih bahagia.

Di tulisanku yang berjudul Putus Cinta aku pernah mengatakan, “Terkadang berat untuk membuka lembaran baru ketika kita tau seseorang nggak akan ada di halaman selanjutnya, sedangkan cerita harus terus berlanjut.”

Merelakan memang tidak semudah kata. Tapi seperti yang aku bilang, cerita harus terus berlanjut. Mau apapun cerita yang tertulis di masa depan, aku akan tetap menjalankan peran yang telah diberikan padaku. Harapan terakhirku cuma satu: semoga ceritaku dan ceritanya memiliki akhir yang bahagia, meskipun masing-masing tertulis di buku yang berbeda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *